tribunindonesia

Thailand Lumbung Padi Dunia

In FEATURES on 16 Februari 2008 at 12:51 PM


Jika ada yang disebut lumbung padi dunia, maka salah satunya adalah kawasan Suphan Buri, sekitar 150 km dari ibukota Thailand, Bangkok.

Suphan Buri merupakan propinsi dengan tingkat produktifitas padi tertinggi di Thailand, dan Thailand selama beberapa tahun merupakan eksportir beras terbesar di dunia.

Lahan di Suphan Buri bisa menghasilkan panen sampai 4 kali setahun, dan kesuburan tanah itu membuat warganya terbebas dari beban hutang.

Beberapa tahun lalu, para petani di Suphan Buri terlilit hutang namun harga beras yang meningkat terus telah meningkatkan pendapatan mereka.

Tahun ini harga beras meningkat sampai 50% dibanding tahun lalu dan diperkirakan masih akan terus meningkat.

Berdasarkan indeks harga pangan dari Badan PBB untuk Pangan dan Pertanian, harga beras akan mencapai tingkat tertinggi dalam waktu 20 tahun.

“Situasinya tidak diperkirakan amat baik buat kami,” kata Sawan Katawut yang menjabat Ketua Perkumpulan Petani Suphan Buri.

“Mungkin karena bencana alam di negara-negara lain atau masalah harga beras di sejumlah negara, namun jelas merupakan hal yang baik buat kami,” kata pria berusia 76 tahun itu.

Komoditas vital

Dalam pertemuan wilayah Badan Pangan Dunia, WFP, harga pangan dunia yang meningkat menjadi salah satu pusat perhatian.

“Bagi jutaan orang di Asia, ini merupakan krisis yang nyata,” kata Tony Banbury, Direktur WFP untuk kawasan Asia.

“Bayangkan keluarga anda terdiri dari 4 orang, mendapat US$ 1 per hari dan menghabiskan 70% untuk pangan, tiba-tiba harganya meningkat dua kali lipat. Jelas anda tidak mampu,” katanya.

Beras merupakan komoditi yang penting, sebagai bahan pangan dari sekitar 2/3 penduduk dunia dan sebagian besar diproduksi secara lokal.

Hanya sekitar 7% saja yang diperdagangkan di pasar internasional, namun jumlah itu amat vital bagi penduduk Bangladesh dan Afghanistan, yang amat tergantung pada impor beras.

Beras juga merupakan komoditi yang politis karena sering dilihat dalam kaitan dengan keamanan dan kesejahteraan di sejumlah negara Asia.

Eksport berkurang

Jepang, yang merupakan salah satu negara industri kaya, tetap menjaga stok beras yang cukup besar.

Padahal dalam kondisi ekonomi sekarang, Jepang tentu mampu membeli beras di pasar internasional walau dengan harga yang tinggi.

Dan sejalan dengan meningkatnya harga beras dunia, beberapa negara pengekspor beras menghentikan ekspor karena keinginan untuk menjaga stok dalam negeri.

Dalam waktu beberapa tahun belakangan, India dan Vietnam –yang merupakan negara pengeksport terbesar kedua dan ketiga– sudah menghentikan eksport.

Sementara itu Cina –yang merupakan konsumen beras terbesar di dunia– pada sisi lain merupakan pengeksport ke Korea Utara, yang beberapa waktu dilanda kekurangan pangan.

Dalam situasi ini, semua negara menginginkan beras dari Thailand, yang memang selalu menghadapi surplus beras.

Berbeda dengan negara-negara penghasil beras lainnya, yang juga menghadapi tingkat konsumsi yang meningkat, maka Thailand justru sudah mencapai tingkat pendapatan yang menyebabkan turunnya konsumsi beras.

Hal ini disebabkan tingkat pendapatan yang tinggi memungkinkan variasi pangan.

Ingin harga stabil

Di salah satu kantor kecil yang gelap di salah satu gang sempit di kawasan Pecinan di Bangkok, Supoj Vongjirattikarn sibuk dengan kedua telepon tangannya dan menghitung dengan cipoa.

Supoj Vongjirattikarn merupakan salah satu pedagang beras di Bangkok yang mengamati kondisi pasar internasional.

Perannya adalah menghubungkan para petani di penggilingan padi di Thailand dengan pembeli di luar negeri. Dan dia semakin sibuk saja.

“Thailand beruntung,” katanya di sela-sela percakapan telepon.

“Kami mempunyai banyak beras pada saat saingan utama kami seperti Vietnam dan India tidak cukup untuk eksport.”

Penyebab dari meningkatnya harga dunia sebenarnya amat kompleks.

Chookiat Ophaswongse, dari Asosiasi Eksportir Beras Thailand, mengatakan bahwa permintaan meningkat pesat dari pasar-pasar baru seperti Afrika.

Namun di sisi lain produksi menurun karena banyak petani yang berubah ke tanaman yang lebih menguntungkan untuk kebutuhan bahan bakar bio.

Beras, menurut Chookiar Ophaswongse, semata-mata mengikuti kecenderungan peningkatan harga pada komoditas lainnya.

Mimpi buruk

Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, permintaan dunia akan melebihi pasokan yang ada.

Bagi WFP, skenario ini merupakan mimpi buruk.

WFP sudah ditekan untuk menyalurkan bantuan pangan tambahan bagi Afghanistan dan Bangladesh.

Dan kekuatiran amat tinggi atas dampak meningkatnya harga beras untuk negara seperti Korea Utara dan Timur Timur, yang amat ringkih dalam menghadapi kekurangan pangan.

Karena harga yang meningkat, negara-negara seperti itu tidak mampu lagi membeli beras di pasar internasional seperti pada masa-masa sebelumnya.

“Kami sekarang kuatir dengan penduduk perkotaan, yang biasanya tidak membutuhkan pertolongan kami,” kata Tony Banbury.

“Penduduk yang bekerja sebagai buruh yang tidak punya mekanisme untuk menyesuaikan dengan harga baru, dan tidak bisa bercocok tanam untuk kebutuhan mereka,” tambahnya.

Tapi apakah situasi ini membuat para petani beras di Thailand tertawa-tawa sambil berjalan menuju ke bang untuk menabung uang?

Sebenarnya kondisinya tidaklah segampang itu.

“Kami tidak suka kalau harga bergerak terlalu cepat,” kata Chookiat Ophswongse.

“Sebagai eksportir kami bisa terperangkap juga. Jauh lebih mudah bagi kami untuk menanganinya jika harga stabil,” tambah Chookiat.

Masalahnya, saat ini sepertinya tidak ada yang bisa menjamin harga beras akan stabil. ma

sumber: BBC

Tinggalkan komentar