tribunindonesia

Archive for the ‘BUDAYA’ Category

Situs Majapahit Dirusak Pemerintah

In BUDAYA on 6 Januari 2009 at 7:34 AM


SITUS Majapahit di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, sengaja dirusak pemerintah. Di bekas ibu kota Kerajaan Majapahit peninggalan abad ke-13 hingga ke-15 tersebut sedang dibangun Trowulan Information Center atau Pusat Informasi Majapahit seluas 2.190 meter persegi.

Peletakan batu pertama dilakukan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, 3 November lalu. Meski dalam perjalanannya ditemukan sejumlah peninggalan bersejarah, seperti dinding sumur kuno, gerabah, dan pelataran rumah kuno, hal itu tak dihiraukan. Tanah terus digali dan benda bersejarah itu dijebol untuk pembangunan sekitar 50 tiang pancang beton Pusat Informasi Majapahit (PIM).

Berdasarkan pantauan pada Minggu (4/1), di beberapa titik, fondasi dari campuran batu kali dan semen telah berdiri di parit-parit galian di situs bersejarah itu. Fondasi tiang beton juga sudah berdiri di beberapa titik. Di sekitarnya, batu bata kuno berukuran besar dan berwarna kehitaman peninggalan zaman Majapahit dibiarkan berserakan.

Wakil Bupati Mojokerto Wahyudi Iswanto saat dikonfirmasi hari Minggu mengatakan, pembangunan PIM sepenuhnya proyek pemerintah pusat. Pemkab Mojokerto dalam hal ini sekadar mengikuti apa yang menjadi keinginan dan kebijakan pemerintah pusat.

Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Provinsi Jawa Timur I Made Kusumajaya mengakui bahwa metode pembuatan fondasi dengan cara menggali tanah memang semestinya tidak dilakukan karena akan merusak situs sejarah dalam jumlah banyak. Sekalipun begitu, ia memastikan sejumlah cor beton maupun batu kali yang sudah terpasang untuk fondasi tidak akan diangkat lagi.

Untuk pembangunan selanjutnya akan digunakan sekitar 50 tiang pancang beton berdiameter 50 sentimeter yang akan dipasang dengan cara dibor, bukan dengan hydraulic hammer (pemukul tiang pancang beton) untuk meminimalkan kerusakan situs bersejarah.

Merusak atau kerusakan situs sejarah yang ditimbulkan dari pembangunan PIM yang merupakan bagian dari Taman Majapahit (Majapahit Park), imbuh Made Kusumajaya, memang tak bisa dihindari. ”Semua itu untuk mencapai tujuan Majapahit Park sebagai sarana edukatif dan rekreatif,” kata Made Kusumajaya.

Cungkup Surya

Majapahit Park adalah proyek untuk menyatukan situs-situs peninggalan ibu kota Majapahit di Trowulan dalam sebuah konsep taman terpadu. Tujuannya untuk menyelamatkan situs dan benda cagar budaya dari kerusakan serta untuk menarik wisatawan.

PIM sendiri nantinya akan berupa bangunan berbentuk bintang bersudut delapan yang disebut Cungkup Surya Majapahit, lambang Kerajaan Majapahit.

Rencananya, di bawah Cungkup Surya Majapahit itu akan dipamerkan sejumlah koleksi PIM yang belum banyak terekspos. Pengunjung juga bisa berjalan di atas ubin kaca dan melihat langsung struktur bangunan Majapahit yang berada di bawahnya.

Lebih Dahsyat

Kepala Museum Trowulan Aris Soviyani mengatakan, kerusakan situs Trowulan akibat industri rakyat pembuatan batu bata justru jauh lebih hebat. ”Selama bertahun-tahun, tak ada solusi terhadap persoalan itu,” ujarnya.

Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menunjukkan, sekitar 6,2 hektar lahan di situs Trowulan rusak setiap tahunnya untuk pembuatan batu bata rakyat.

Masyarakat menggali tanah untuk pembuatan batu bata karena tak ada penghasilan alternatif. Masyarakat juga berharap saat menggali tanah bisa menemukan benda-benda bersejarah yang kemudian bisa dijual.

Secara terpisah Made Kusumajaya mengatakan, selama berpuluh-puluh tahun, situs sejarah Majapahit seolah hanya menjadi milik komunitas arkeolog. Situs itu hanya digali dengan metode tertentu untuk kemudian ditutup lagi dengan alasan konservasi.

Ia menekankan, sebagai seorang arkeolog, dia tidak bisa terlalu egoistis dengan keinginan tunggal untuk tetap terus mempertahankan situs sejarah itu tidak diketahui orang banyak.

Proyek Borobudur

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef yang pernah memimpin proyek UNESCO memugar Candi Borobudur, yang ditemui Minggu, menyesalkan adanya pembangunan fisik yang merusak situs Trowulan. ”Trowulan merupakan salah satu bukti kita memiliki nenek moyang dengan peradaban tinggi tidak kalah dengan bangsa-bangsa di Eropa,” katanya.

Menurut Joesoef, seharusnya pola konservasi Borobudur yang menggandeng UNESCO dapat diterapkan untuk Trowulan. Proyek Borobodur tahun 1978-1983 yang didukung UNESCO mampu mengalahkan usulan proyek konservasi Mohenjo Daro di Pakistan dan konservasi Venesia, Italia, kala diajukan dengan serius oleh Pemerintah Indonesia.

Proyek Borobudur didukung penuh Pemerintah Belanda, Jepang, Perancis, Jerman, dan negara-negara Eropa lain.

Meskipun demikian, Joesoef menyayangkan perawatan Borobudur yang diganggu kepentingan bisnis dan individu.

Sesuai ketentuan UNESCO, kata Joesoef, kawasan sekitar Borobudur dibagi dalam tiga ring pelestarian. Kini dalam ring satu sudah ada bangunan milik seorang perempuan pengusaha. Sejumlah menara pemancar telepon seluler juga dibangun di kawasan sama.

”Jangan sampai status warisan dunia dicabut oleh UNESCO karena kita dinilai tidak bisa dipercaya. Kalau sudah begini, bagaimana mau merawat situs Trowulan dan mendapat kepercayaan internasional,” kata Joesoef yang awal dekade tahun 1970-an melobi UNESCO di Paris untuk menyelamatkan Borobudur.

Setelah sukses memugar Borobudur, kata Joesoef, Indonesia dipercaya untuk membantu pemugaran kompleks Candi Angkor Wat di Kamboja. Ketika itu para arkeolog Indonesia disegani di kalangan dunia internasional.

Situs Trowulan tersebut memiliki tarikh Masehi yang sama dengan Istana Louvre di Paris, yakni sekitar abad ke-12 Masehi hingga ke-14 Masehi. Kini di atas situs Trowulan dibangun megaproyek yang menutup areal ekskavasi arkeologi Majapahit yang menjadi bukti kebesaran nenek moyang bangsa Indonesia (prima/Kompas)

Kota Majapahit Dibangun dengan Sistem Jaringan Air

In BUDAYA on 3 November 2008 at 10:48 AM


DIREKTUR Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Hari Untoro Dradjat mengatakan, bahwa keberadaan Trowulan dan dihubungkan dengan Kerajaan Majapahit sudah lama jadi subyek penelitian. 

Bahkan, awal abad 19 seorang Belanda bernama Wardenaar diutus Gubernur Jenderal Stamford Raffles untuk mencatat potensi kepurbakalaan. Pada tahun 1985 penelitian yang lebih intensif tentang Trowulan dilakukan dengan metoda penginderaan jarak jauh dan hasilnya menakjubkan dengan interpretasi bahwa kota Majapahit dibangun dengan sistem jaringan air yang saling berhubungan.

“Sistem jaringan air ini dalam kajian arkeologi adalah merupakan model pertahanan yang lazim digunakan oleh kerajaan-kerajaan kuno di Asia Tenggara, seperti Sukothai dan Kamboja. Dengan penelitian ini terbukti bahwa Trowulan adalah bekas Kota Majapahit adalah sangat kuat dan sudah memiliki hubungan erat dengan berbagai negara,” kata Hari Untoro Dradjat, Senin (3/11).

Menurut Hari, temuan di Trowulan terdiri atas candi, kanal, kolam segaran, keramik, logam, mata uang dan lain-lainnya tersebar sangat luas dalam kota Kerajaan Majapahit yang berukuran 9 x 11 km persegi. Melihat pentingnya situs Kota Majapahit ini maka Pemerintah telah membuat master plan sebagai dasar pelestarian dan pemanfaatannya. Sejumlah situs sudah dilakukan pemugaran, seperti Candi Tikus, Candi Bajangratu, Candi Brahu, Candi Gentong, dan Candi Wringin Lawang, serta Kolam Segaran.

Trowulan sebagai bekas Kota Majapahit, jelas Dirjen Sejarah dan Purbakala itu, dalam pengembangan dan pemanfaatannya ke depan perlu didukung dengan adanya Taman Majapahit, yang berfungsi sebagai sentral yang menghubungkan jaringan situs-situs yang ada di trowulan. Di samping itu juga berfungsi sebagai laboratorium untuk kepentingan penelitian kebudayaan Majapahit.

Pembangunan Taman Majapahit yang peletakan batu pertamanya oleh Menbudpar Jero Wacik, Senin (3/11) diharapkan dapat memberikan penjelasan secara lengkap dan memuaskan kepada masyarakat mengenai arti penting dari peninggalan Majapahit.

“Dalam pengembangan ke depan kita perlu dukungan dari berbagai pihak, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, CSR dan masyarakat luas,” jelasnya. (prima/Kompas)

Posisi Istana Majapahit Belum Pasti

In BUDAYA on 11 September 2008 at 12:13 AM


PARA peneliti sampai sekarang masih kesulitan menemukan lokasi keberadaan istana Kerajaan Majapahit. “Penelitian yang dilakukan oleh empat perguruan tinggi kemarin hanya menemukan pusat kota dan pusat sakral zaman Majapahit. Kalau istana kerajaannya belum ditemukan,” kata Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan I Made Kusumajaya di Kediri, Kamis (11/9).
   
Lebih lanjut dia menjelaskan, pusat kota yang ditemukan tim peneliti dari Universitas Hasanuddin (Unhas), Universitas Udayana (Unud), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Gajah Mada (UGM) itu adalah sebuah wilayah seluas 4 x 5 kilometer di Desa Segaran, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Selain itu, juga ditemukan kawasan seluas 11 x 9 kilometer yang dianggap sebagai pusat kegiatan sakral masyarakat di zaman Majapahit dulu.
   
Dalam penelitian tersebut, empat perguruan tinggi negeri terkemuka itu juga berhasil menemukan sebuah batu kuno setebal 80 sentimeter yang diduga merupakan pagar bangunan zaman Majapahit saat diperintah Raja Hayam Wuruk. “Memang istana Kerajaan Majapahit itu diperkirakan ada di sekitar Segaran, tetapi kami belum bisa memastikannya karena belum ditemukan adanya (sisa-sisa) istana di situ,” katanya menambahkan.
   
Made menilai, ada keunikan terkait alasan Majapahit membangun lokasi kerajaannya di sekitar kawasan Trowulan itu. “Kalau kami teliti lebih jauh, ternyata itu bagian dari strategi yang diterapkan Hayam Wuruk agar tidak mudah diserang oleh musuh karena biasanya pusat kerajaan di zaman dulu itu selalu berada di kawasan pantai yang memudahkan musuh menyerang dengan armada lautnya,” katanya.
   
Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh empat perguruan tinggi itu, sampai sekarang baru mencapai 20 persen. Menurut Made, penelitian sekarang ini difokuskan pada perilaku masyarakat Majapahit. “Para peneliti membandingkan perilaku masyarakat Majapahit itu dengan perilaku masyarakat Bali karena memang ada kemiripan,” katanya (vd/ant)